Tuesday, March 8, 2011

Say Yes To Reality

Oleh: Dewi Meilina
Edit oleh: B.S. Wiratama



Cukup sulit untuk memutarbalikkan keadaan di antara maya dan nyata, di antara abstrak dan realita. Terkadang semua terjadi karena sebuah kamuflase dari sebuah realitas. Pada dasarnya tak banyak orang mampu menerima kenyataan dengan kata “YA” yang sesungguhnya. Untuk bisa meyakinkan diri bahwa yang ada di depan mata bukanlah sesuatu yang kompleks untuk dihadapi. Bisa jadi yang terjadi adalah sesuatu yang bukan merupakan hal yang gamblang untuk dijalani.

Menghindari sebuah kenyataan juga bukan sesuatu hal yang pantas dilakukan karena bagaimanapun juga tidak mudah untuk menghadapi sebentuk perasaan. Memang ada segelintir orang yang sangat menikmati rasa sakit, dimana dengan menerima keadaan yang sebenarnya tanpa melakukan sebuah penolakan, yang mana mungkin saja dengan begitu ia akan sanggup mencairkan rasa sakit itu sendiri. Namun kembali lagi ke dalam dunia nyata, sebuah teori hanya akan tetap menjadi sebuah teori jika tak seorangpun bisa menciptakan praktek dalam kehidupan yang sadar. Dan di sini, bisa saya katakan bahwa saya sangat senang menikmati rasa sakit itu. Saya bukan seseorang yang mudah keluar dari sebuah rasa. Terkadang kenyataan yang ada membuat saya menghujat segala yang terjadi dalam hidup. Terkadang saya bingung, saya harus berdiri dalam konteks yang mana? Mengikuti dan memaknai realita dengan berdamai terhadap hati saya atau tetap tenggelam dalam abstraksi pola pandang dan pikir saya di balik bayang kamuflase keindahan.

Suatu saat apakah bisa saya katakan, bahwa cinta itu mengalir seperti air? Dan bisakah saya berjalan mengikuti arus perputaran waktu yang tak pernah berhenti dengan ketiadaannya? Bola dunia yang berotasi dan hidup yang berevolusi mampukah membawa saya masuk dalam sebuah perubahan rasa? Mungkin cukup banyak puing-puing masa lalu yang bisa menuntun saya pada satu arah, kembali pada keadaan manusia yang sebenarnya, yaitu lahir dan mati dengan kesendirian. Mungkin ada baiknya jika warna-warni dalam rasa ditransformasi menjadi satu warna hitam. Salah satu warna dasar sebuah alur kehidupan. Hitam dengan arti kegelapan atau mungkin sesuatu yang ekstrim yaitu kematian. Kematian sebuah rasa yang menyiapkan seseorang untuk sanggup menghadapi realita hidup dengan kesendirian, dimana harus siap untuk berjalan sendiri, melangkahkan kaki tanpa adanya penuntun, kebingungan dalam sebuah bingkai tak bertepi. Ataukah akan memilih terjatuh pada putih? Seperti arti putih pada sekuntum mawar putih yang suci, tulus, dan tak ternoda. Jika saja setiap saat bisa saya temui sekuntum mawar putih, tak akan mungkin pada akhirnya saya memilih setangkai Rafflesia.

Jika dapat saya katakan bahwa setiap roda waktu yang berputar selalu saya jalani dengan refleksi hitam dan putih, sepertinya akan lebih baik menghitamkannya karena pada akhirnya saya akan terbunuh oleh perasaan saya sendiri dan lalu mengabaikan keadaan di masa lalu dan sekaligus mengaburkan masa depan yang akan saya lalui. Walaupun, menghitamkan ini tidak akan secara otomatis membunuh diri saya untuk tidak berkarya lagi. Bagi saya, ini hanya butuh waktu untuk beranjak dari kehitaman dan mengakhiri masa berkabung tersebut dengan semangat berlari dan mengejar impian lagi menjadi putih kembali.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog