Monday, April 19, 2021

Doing more Good Things within Sustainability in our Learning Journey

Scientific literacy has been defined as “the knowledge and understanding of scientific concepts and processes required for personal decision-making, participation in civic and cultural affairs, and economic productivity” (National Academy of Sciences, 1996), all of which are important with respect to addressing sustainability issues. Scientific literacy is essential in terms of understanding many sustainability issues and their possible solutions, particularly in relation to the environment. Scientific literacy is one of 16 skills required in this 21st century as shown in this diagram below.
Source: World Economic Forum, New Vision for Education (2015). These 21st century skills also applied in Green School as Green School Skills with a special formulation and modification into 3 classifications of Think (Think Creatively, Think Critically, and Think in System), Act (Active, Collaborate, and Communicate), and Reflect (Be Aware, Solve Problems, and Adapt). Within these skills, Green School tries to develop a balanced approach to learning along with Green School IRESPECT values and Learning objective discipline. This approach leads to Green School’s mission “A Community of Learners Making Our World Sustainable''. Sustainability Education is often referred to as Education for Sustainable Development (ESD). ESD allows every human being to acquire the knowledge, skills, attitudes and values necessary to shape a sustainable future (UNESCO, 2014). Education for Sustainable Development requires far-reaching changes in the way education is often practised today. The most common model of sustainable development today remains the three-pillar model, which encompasses ecological/environment, economic, and social sustainability. These pillars allow us to create a comprehensive model of learning in terms of contextual integrative learning.
Contextual integrative learning will give a better understanding to the students in learning a topic or a certain issue through exposures, experiences, reviews and reflections. In Green School, this comprehensive learning drives through R.E.A.L Principles that are shown in the figure on the left. The R.E.A.L Learning Principles are designed to foster authentic experiences in which students can grow and nurture their values, skills and competencies. These learning processes are purposefully designed in consideration of how the human brain learns, to support students in developing essential skills and knowledge, as well as their executive functions. John Dewey’s famous quote said, “We don’t learn from experience. We learn from reflecting on experience”. So then, it is necessary to give lots of experiences for our students to learn and reflect. Herein, as the examples in relating the Education for Sustainable Development with Scientific Literacy, we try to connect the Sustainable Development Goals (SDG) to Science’s topic, e.g. the Science Energy System Unit of Green Power Topic linked to SDG 7 Affordable and Clean Energy. Learning activities were delivered based on the exposure of renewable energies around us and explore the Green School’s Vortex and Solar Panel System. The student developed research to find out the benefits and challenges in implementing clean energy for our world. The students gained an important understanding by creating a prototype of green power with a GS Skill focused on solving problems. As long life learners, students and teachers will get a better opportunity to nurture and experience the development of citizens engaged in building sustainable communities, which is inline with Green School’s mission and ambition. Through the Local Scholarship Program that is opened by the Green School Foundation, such an educational experience is introduced and provided to a number Balinese Children. The various projects and initiatives started by our local scholars have helped the Balinese communities, and even beyond, to thrive and solve environmental problems in this world. It can be said that we are on a journey to implement the idea of Jochen Ziitsz that says sustainability is no longer about doing less harm. It's about doing more good. Disclaimer: This article has been posted at https://greenschool.foundation/blog/doing-more-good-things-within-sustainability-in-our-learning-journey

Wednesday, March 11, 2020

Tidak semua gatal mesti digaruk...

Oleh: B.S. Wiratama

Kenapa? kan gatal? Masak ga boleh garuk? hhhmmm...

Manusia, terkadang bisa saja berada di titik dimana kita harus mengambil keputusan untuk menahan diri dan bisa jadi mengambil sikap untuk diam, tidak melakukan apapun. Orang lain bisa saja tidak setuju dengan pengambilan sikap ini, tapi diri sendiri adalah orang yang paling bertanggungjawab atas diri sendiri. Iya, diri kita sendiri. Reaktif? Tidaaakkk... cukup direspon dengan sepantasnya saja. Pasti ada sesuatu di balik alasan menahan diri ini? Tidak semua gatal mesti digaruk.

Ada kalanya kita dihadapkan pada situasi bahwa kita harus "masuk ke dalam goa" dan mencari jawaban dalam diam. Ada kalanya juga kita harus bersuara lantang menyuarakan suara hati yang tak pernah terungkapkan. Merasa tidak terima, merasa diperlakukan tidak adil, merasa dipecundangi, dan merasa dikalahkan dengan tidak wajar. Normalkah? Nyatanya di kehidupan nyata, hal seperti ini terjadi. Reaktif? Tidaaakkk... cukup direspon dengan sepantasnya saja. Pasti ada sesuatu di balik alasan menahan diri ini? Tidak semua gatal mesti digaruk.

Ada kalanya juga kita diberikan rejeki yang melebihi ekspektasi kita. Ada kalanya juga kita mendapatkan keuntungan yang besar atas usaha yang kita lakukan. Ada kalanya semua suka cita muncul di saat yang bersamaan. Reaktif? Tidaaakkk... cukup direspon dengan sepantasnya saja. Pasti ada sesuatu di balik alasan menahan diri ini? Tidak semua gatal mesti digaruk.

Ada kalanya juga kita memiliki keinginan yang sebenarnya dengan mudahnya bisa dimiliki. Punya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus merepotkan orang lain. Ada kalanya bisa mempunyai hal mustahil dalam sepejaman mata saja. Memiliki kuasa mutlak untuk melakukan apapun, tapi kita harus tetap bisa mengendalikan nafsu ini. Reaktif? Tidaaakkk... cukup direspon dengan sepantasnya saja. Pasti ada sesuatu di balik alasan menahan diri ini? Tidak semua gatal mesti digaruk.

Lalu, seperti apakah sebaiknya kita bersikap? Diamkan saja? Doakan saja? Serang balik dan berlagak seolah-olah kita adalah korban? Tidak tentu juga bahwa ada formula khusus yang bisa kita lakukan untuk menjawab situasi tersebut. Tidak juga jelas yang mana merupakan sikap benar atau tidak benar saat kita mengambil tindakan dan respon atas situasi tersebut. Tidak ada batasan jelas, mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya akan tergantung perspektif, iya sudut pandang dari mana kita melihatnya. Segala norma yang dianggap baik atau buruk pun juga berasal dari perspektif, tidak ada yang mutlak.

Kita punya hak untuk mengambil sikap, kita juga punya hak untuk menentukan respon kita, dan tentunya kita juga punya hak untuk bersikap mengabaikan semuanya. Tidak sepantasnya kita menyimpan dan menambahkan beban pikiran negatif pada otak kita. Tidak sepantasnya kita menambahkan dan memberi ruang merasa bodoh pada hati kita. Tidak sepantasnya kita memberi dan memaksa tangan kita untuk selalu menggenggam beban yang semestinya bisa kita tanggalkan. Ingat, tidak semua gatal mesti digaruk. Kita berhak untuk mendapatkan kebahagiaan bagi kita.

“Iya, tidak semua gatal mesti digaruk. Kita semua berhak bahagia. Iya, semuanya..."



* judul ini terinspirasi pada virus varicella (baca: cacar air) yang penulis alami sekitar medio September 2011.

Thursday, September 7, 2017

Waktu itu tidak ada tepat waktunya...

Ditulis dan diedit oleh: B.S. Wiratama


Bulan Agustus lalu, cerita tentang Mata Najwa cukup menarik perhatian banyak orang. Bukan karena tendensius atau bagaimana, namun memang harus diakui bahwa acara Mata Najwa adalah salah satu yang terbaik dan banyak memberikan inspirasi. Namun, Agustus adalah Agustus penghabisan, demikian tulis Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa. Sepertinya, tidak bisa ditawar kembali rasanya, agustus adalah agustus penghabisan bagi Mata Najwa sekaligus bagi tuan rumahnya, Najwa Shihab. Tayangan terakhir Mata Najwa diberi tajuk Catatan Tanpa Titik sangat memicu antusias banyak penontonnya untuk menyaksikannya. Berikut kutipan dari catatan Mata Najwa yang dibacakan di episode terakhirnya.

Catatan Tanpa Titik
Tiap orang bisa merencanakan tujuan,
Namun sulit menerka akhir perjalanan,
Yang bisa dilakukan selekasnya melangkah,
Dengan derap yang tak boleh setengah-setengah,
Berucap syukur pada-Nya,
Sepanjang jalan yang terus menyerta,
Menghayati keindahan tanah air,
menghirup keragaman yang tak boleh berakhir,
Namun mustahil terus menerus berlari,
Pemahaman kadang muncul saat berhenti,
Waktunya mengambil jeda beberapa saat,
Agar riwayat tak lekas tumpat pedat,
Memahami perubahan yang begitu cepat,
Menjaga saujana agar terus terlihat,
Menyegarkan lagi khidmatnya menjadi Indonesia,
Siapa tahu dapat berbagi hal yang berharga,
Jika saatnya bergerak sudah menjelang,
Mata Najwa niscaya kembali datang,
Menyongsong segala yang akan tiba,
Dengan derap yang semoga lebih bertenaga,
Berkarya dengan sepenuh daya,
Sembari memberi makna walau dalam jeda
- Catatan Najwa -"

Iya, hidup harus terus berjalan. Pergerakan juga tetap perlu berjeda dalam bergerak. Najwa Shihab dengan nama besarnya sekalipun juga butuh berjeda dalam bergerak dan hal itu sangat wajar dan manusiawi sekali. Mata Najwa yang sudah 7 tahun dan Najwa Shihab dengan masa kerja yang sudah 17 tahun sudah mencapai titik jenuhnya, sebut saja begitu. Kenapa begitu? Karena kita tidak berhak berasumsi atas hidupnya Mbak Nana (panggilan akrab Najwa Shihab), entah beliaunya ditekan atau memang beliaunya sendiri yang menginginkannya. Apalagi polemiknya muncul setelah penayangan episode live terakhir yang mengangkat kasus korupsi besar yang bertajuk "Ekslusif bersama Novel Baswedan".

Najwa Shihab... iya, itu Najwa Shihab, reporter pertama di stasiun TV swasta tempat beliau bertugas. Kalau Mbak Nana menyebut agustus adalah agustus penghabisan. Hampir mirip dan serupa. Bagi saya, November juga serupa dengan itu. Sudah 6 tahun diberikan amanah mengemban tugas. Amanah untuk mengabdi dan melayani. Saya rasa dua periode pengabdian dan pelayanan itu juga sudah cukup sehat bagi saya untuk mengemban amanah tersebut. Justru saya lega dengan ini. Jika saya melakukannya melebihi dari itu, mungkin akan menjadi rutin saja yang harus dijalani. Masuk pagi, kerja, terus pulang. Ya sudah, segitu aja... rutin. Selain itu, sudah sebaiknya estafet ini diteruskan, semua orang berhak dan berkesempatan untuk juga mencapai pencapaiannya dalam diri dan belajar. Setiap bintang punya masanya bersinar. Masih banyak tantangan seru lainnya yang bisa kita kembangkan untuk mengasah dan menempa diri kita agar layak bermanfaat. Sebut saja, mencapai titik jenuh, di luar apapun yang terjadi sebenarnya. Biar hanya saya dan Tuhan saya yang mengetahuinya dan mempersilakan kepada yang berwenang untuk melakukan fungsinya, sementara saya tetap bisa fokus berkarya baik bagi diri, keluarga, dan lingkungan sekitar saya.

Berkarya itu dapat dilakukan dimana saja. Berkaryalah, jangan hanya bekerja. Kalimat yang saya cetuskan di tahun 2013 ini adalah semacam nafas bagi saya. Percaya saja, bahwa berkarya itu adalah sebuah kebaikan yang harus terus dilakukan meski harus menjaminkan diri sebagai konsekuensinya. Berkarya baik itu adalah usaha menempa diri untuk melatih diri menjadi pemimpin yang baik juga. Pemimpin itu adalah orang yang sudah "selesai" dengan dirinya. Selalu berkarya, selalu bersemangat, dan tentunya harus selalu bermanfaat bagi sekeliling. Harus merdeka dalam berkarya, bebas dari tekanan siapapun dan apapun. Saya harus berikan penekanan khusus untuk kalimat terakhir ini... Iya, kita harus MERDEKA dalam BERKARYA...

Selalu juga ingat untuk selalu berucap syukur untuk semua anugrah yang telah dilimpahkan dan proses belajar yang telah dialami. Biarkan harmonisasi kondisi lingkungan di sekitar kita tetap terjaga, meski harus menimbulkan perdebatan di dalam raga. Biarkan juga metronomnya terus berdetak, agar irama lagunya tetap merdu sesuai tempo dan mampu bersenandung tidak memekakan telinga...




Friday, June 17, 2016

Sepasang alas kaki biasa...

Ditulis dan diedit oleh: B.S. Wiratama

Mungkin bukan sesuatu yang prestisius yang bisa ditunjukkan. Bukan juga sebuah simbol yang menakjubkan untuk diberikan. Ini hanya sepasang alas kaki yang biasa-biasa saja. Sepasang penutup kaki yang standar saja. Sesuatu yang dimiliki dan tentunya dapat dibagi...

Alas kaki yang biasa akan berarti maknanya bagi mereka yang menggunakan. Mungkin juga tidak akan jauh mentereng dari alas kaki yang telah dimiliki oleh orang lain. Mungkin juga tidak sebagus alas-alas kaki bermerek terkenal. Tapi, alas kaki ini adalah alas pijakan diri... Benda paling bawah yang kita gunakan di bagian tubuh kita yang berfungsi bagi kita berdiri dan melangkah.
Ketika kaki kita berpijak, dengan dilengkapi oleh alas kaki yang baik, akan mampu menopang diri kita di atasnya. Alas kaki yang baik juga akan membantu penggunanya untuk selalu bertubuh sehat dan bergerak dinamis. Alas kaki yang baik juga akan mendukung penggunanya untuk dapat berpikir yang jernih juga dan tentunya, membantu penggunanya untuk merasa nyaman. Alas kaki yang menyamankan ini akan mendorong penggunanya untuk selalu bisa merangsang pemikirannya untuk memiliki perspektif yang luas yang bisa membantunya untuk selalu berdiri dengan baik. Sebuah alas kaki yang bisa menjadi alasan bagi si penggunanya untuk selalu berhati-hati melangkah, menghindari kotoran, menghindari genangan air, dan juga sampah-sampah yang berserakan. Alas kaki ini jugalah yang dapat menjadi alasan si pengguna untuk selalu merawat dan menyimpannya di tempat yang baik dan menjaganya dalam rak sepatu yang kokoh.

Alas kaki yang kotorpun sebenarnya masih bisa dicuci dan dibersihkan juga disemir agar tetap mengkilap. Tergantung pada penggunanya. Bisa juga alas kaki yang kotor ini langsung dibakar dan diganti dengan alas kaki baru yang lebih menawan.
Alas kaki yang robekpun tetap akan meninggalkan dua pilihan, yaitu disol kembali atau dibuang, lalu diganti dengan alas kaki baru yang lebih menawan sama seperti alas kaki kotor tadi di atas. Ini kembali lagi kepada penggunanya. Penggunanyalah yang punya hak untuk menentukan pilihannya. Nyaman tidaknya sepasang alas kaki tergantung dari rasa yang pengguna pakai untuk memaknainya. Alas kaki yang nyaman bersumber dari pikiran penggunanya yang sekaligus menyebabkan pikiran penggunanya nyaman juga. Alas kaki yang nyaman akan menguatkan penggunanya kemanapun melangkah, walaupun itu hanya alas kaki yang biasa. Iya, meskipun itu hanya alas kaki yang biasa...

Search This Blog