Monday, July 29, 2013

Belajar itu (tidak) Instant

Oleh B.S. Wiratama


Makan cabai, (tidak mesti) langsung pedas...
Dicubit, (tidak mesti) langsung sakit...
Dipukul, (tidak mesti) langsung lebam....



Mungkin kiasan di atas dapat menggambarkan sedikit maksud dari penulis untuk menyampaikan bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa langsung dirasakan, bisa langsung dikecap. Terkadang kita sebagai orang dewasa terdogmasi pada pemikiran bahwa anak didik harus banyak tahu, harus bisa, dan harus mampu menjawab semua hal. Untuk medapatkan hasil tersebut, bahkan jika perlu memberikan soal sebanyak-banyaknya dengan cara menjejali peserta didik dengan soal-soal pelajaran yang bahkan hingga ratusan soal dan terkadang jauh di atas level belajar si anak. Sehingga, fokus anak-anak seperti layaknya seekor kuda yang ditutup matanya dengan kaca mata kuda yang keren dan tidak diperkenankan untuk menoleh "variasi pemandangan" di kiri dan kanannya. Tidak akan dipungkiri, anak-anak yang "berkacamata kuda" ini akan menjadi hebat secara teknis, menjadi super dalam menyelesaikan permasalahan teoritis, namun minim kreativitas. Secara empiris, anak-anak tipe ini dididik hanya untuk menjadi seorang teknisi, sebutlah sebagai pekerja. Pola pendidikan seperti ini berkecenderungan melahirkan generasi "robot" yang akan selalu melakukan aksi setelah input data dilakukan. Perintah di "enter", robot akan "beraksi". Permasalahannya sekarang, apakah orang tua akan rela melakukan hal seperti itu kepada anaknya? apakah orang tua mau "investasi" masa depannya hanya akan menjadi generasi pekerja saja? Bukankah ini semua tidak bisa dilepaskan dari peranan orang tua juga dalam "mengarahkan" anaknya sebagai investasi masa depan mereka?

Jika dilihat dari jenisnya, pengetahuan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: pengetahuan faktual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kontekstual. Nah, anak-anak yang tergolong dalam metafora pada paragraf pertama itu termasuk anak-anak yang digembleng berdasarkan pemberian pengetahuan faktual dan atau prosedural saja. Anak akan tahu tentang sesuatu hal, dan atau bisa melakukan sesuatu, tetapi tidak mengetahui apa kegunaan dan dimana teraplikasikannya pengetahuan yang mereka dapatkan. Contohnya, anak tahu bahwa panas adalah proses peningkatan temperatur. Anak tahu bahwa panas dapat terjadi jika terjadi gesekan. Tetapi, anak-anak tidak tahu bahwa panas dapat diubah menjadi energi penggerak dengan menggunakan prinsip fluida, dan sebagainya, dimana hal ini dapat diterapkan, bagaimana hal ini dapat membantu siswa di kehidupan sehari-harinya, dan hal-hal kontekstual lainnya.

Pembelajaran akan mudah dipahami ketika pembelajaran dikemas dengan melibatkan keterkaitan konsep pada aplikasi kehidupan sehari-hari. Fenomena-fenomena alam sangat membantu dalam penyampaian pembelajaran kontekstual ini. Pemahaman menyeluruh akan konsep, materi, struktur, dan penerapan akan mudah diperoleh ketika mempelajari sebuah topik fenomena alam dan atau hal yang terjadi di sekitar siswa. Lingkungan belajar siswa, seperti lingkungan sekolah, rumah, dan dukungan belajar di lingkungan tempat si anak didik berada, juga merupakan sumber belajar yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman siswa dalam proses pembelajaran kontekstual. Anak-anak akan lebih mudah melaksanakan proses belajarnya ketika dikaitkan dengan hal-hal yang sering mereka temui dan libatkan dalam kesehariannya. Contoh paling sederhana yang bisa diberikan adalah berkebun, memasak, bermain membuat bayangan di tembok, berkunjung ke kebun binatang, berbelanja ke pasar, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Kreativitas anak-anak juga akan muncul ketika pembelajaran ini berlangsung, anak-anak memiliki ruang untuk bertanya, menguji dan memecahkan masalah yang ia temui selama proses belajarnya. Dan sekali lagi, hal ini tidaklah seseketika itu dirasakan. Belajar adalah sebuah proses, bukan sebuah hasil akhir yang akan menghasilkan sebuah produk.

Salah satu kutipan dari Benjamin Franklin, "Tell me and I forget. Teach me and I remember. Involve me and I learn." merupakan salah satu kiasan bahwa keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajarnya adalah sumber utama pembelajaran itu sendiri. Dan proses ini merupakan hasil belajar yang objektif yang dapat teramati dan terukur berdasarkan alat ukur yang telah disiapkan sebelumnya oleh guru. Alat ukur tersebut biasanya disebut sebagai rubrik. Rubrik ini biasanya berisi parameter-parameter pengukuran capaian pengalaman belajar dan hasil belajar siswa.
Pemenuhan parameter-parameter inilah yang menunjukkan hasil belajar siswa tersebut. Oleh sebab itu, keterlibatn siswa dalam pembelajaran yang dikemas dalam pembelajaran kontekstual ini akan menunjukkan kompetensi siswa secara objectif dan akan terus berkembang seiring dengan rasa keingintahuan dan triger-triger yang ada selama pembelajaran berlangsung. Dan sekali lagi, hasil ini tidak akan terlihat seketika; tidak instant. Semuanya adalah sebuah proses pembelajaran yang akan terus berkembang seiring dengan readiness dan psycological developmental stage siswa tersebut. Dukungan lingkungan belajar, baik dari sekolah dan rumah, sudah semestinya sejalan dan berfokus pada mempersiapkan anak tersebut untuk mencapai tahap readiness dan psicological developmental-nya. Dan, semua anak mencapai fase pencapaian readiness dan psicological developmental pada saat yang berbeda-beda. Sehingga, kita sebagai orang dewasa sudah tidak sepantasnya lagi men-judge ada anak yang bodoh. Yang ada adalah, anak yang sudah siap dan anak yang belum siap.

Sehingga melalui ini pula, penulis ingin menyampaikan pesan bahwa peran serta orang tua dalam proses belajar anak didik ini sangat menentukan dan sangat memungkinkan untuk selalu berkolaborasi dengan sekolah untuk membantu perkembangan anak untuk meraih prestasinya. Belajar tidak hanyalah di sekolah, dimanapun siswa dapat belajar melalui pengamatan, terlibat langsung dengan media dan material belajar, yang akhirnya dapat menuntun siswa untuk dapat menarik sebuah kesimpulan. Dan sekali lagi, ini tidak instant... Proses belajar adalah sebuah perjalanan, bukan sebuah perlombaan...

Nah, sekarang kembali ke orang tua, apakah menginginkan generasi "robot" atau generasi "pengendali" sebagai investasi kehidupannya dan keluarga???


Pictures source: (1) http://pwww.fcatscience.net/wp-contentuploads/201303IMG_6138.jpg; (2)http://www.chocolatecakemoments.com/bean-appetit-kids-cookbook-review/; (3) http://educationindonesia.net/ctl.html




No comments:

Post a Comment

Search This Blog