Saturday, November 1, 2014

Jangan berkata “JANGAN” pada anak

Oleh: B.S. Wiratama

“Tapi ini susah saya lakukan, Pak”. Begitulah tanggapan pertama yang penulis dapatkan dari salah satu orang tua murid yang penulis ajar. Asumsi penulis, mungkin dalam pikiran ibu tersebut adalah “bapak ini, sok tau deh… apa lagi coba yang bisa diucap untuk melarang anak ini agar tidak bandel”. Iya, mungkin itu yang ada di benak ibu tersebut.

Tapi, percayalah bahwa orang tua banyak memiliki alternatif lain dalam menyampaikan pesan ini. Justru kata-kata larangan, seperti jangan, tidak boleh, dilarang, dan lainnya akan memicu anak untuk melanggarnya. Contoh, jangan bermain ke gudang, eh si anak malah semakin sering bermain di gudang, dll. Berdasarkan pengalaman, penggunaan bahasa larangan justru hanya akan mendemotivasi anak-anak untuk melakukan hal lebih dalam usahanya memecahkan masalahnya atau mengerjakan sesuatu. Dan ini tidak baik untuk perkembangan psikologinya. Anak-anak akan merasa tidak memiliki keluasaan dan kreativitas ketika mengerjakan sesuatu. Bahasa larangan hanya akan mejadi batasan bagi si anak untuk berkarya. Kepatuhan anak akan larangan yang diterapkan pada mereka hanya merupakan tindakan sementara untuk sekedar menghindari kemarahan orang tua atau gurunya dan ini sifatnya tentatif saja. Pada fase ini, anak justru mengalami tekanan secara psikologis yang memungkinkan berdampak tidak baik untuk pelatihan kemampuannya dalam pengembangan kemampuan berpikirnya, yaitu kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Kebanyakan ditemukan bahwa orang tua beranggapan ketika anak itu menurut, maka artinya anak itu sudah mengerti dan tidak akan mempermasalahkan hal yang diperintahkan itu. Namun, kenyataannya adalah justru anak yang menurut itu bisa saja memyimpan uneg-uneg yang tidak sempat ia jelaskan sebagai sikap tidak terimanya dia terhadap tindakan/perlakuan yang dia terima dari orang tuanya. Sikap ini adalah sikap yang berbahaya, karena bisa jadi hal ini justru hanya akan membuat anak menjadi dendam terhadap orang tuanya atau mungkin juga menjadi tidak percaya diri dan takut ketika melakukan kegiatan serupa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masih ada alternatif untuk menyampaikan pesan “JANGAN” ini dalam bentuk bahasa positif yang justru akan membantu anak untuk lebih memahami maksud dari pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua tanpa harus membatasi mereka, mendemotivasi mereka, dan atau menghalangi kreasi mereka. Beberapa contoh yang dapat penulis tunjukkan adalah sebagai berikut.

Harus diakui bahwa mengubah “paradigma” berpikir seperti yang penulis ajukan sekarang ini memang memiliki tantangan yang tidaklah kecil. Kebiasaan-kebiasaan keliru yang menjadi pola dalam mendidik dan sudah tertanam sejak dulu ini sangat sulit untuk digeser. Namun, yang perlu penulis ungkapkan adalah bahwa anak-anak jaman sekarang adalah anak-anak kritis yang terfasilitasi dan terakomodasi dengan berbagai literatur dan sumber belajar yang mereka sendiri bisa dapatkan atau akses tidak hanya dari orang tuanya saja. Sumber-sumber belajar ini banyak juga yang berkaitan dengan hal-hal yang dilarang-larang tersebut, termasuk rasionalisme-rasionalismenya. Penggunaan kata larangan ini hanya akan memicu argumentasi dari anak jika orang tua keliru atau salah memberikan penjelasan dikarenakan anak sudah mengetahui atau mengakses hal tersebut sebelumnya.

Orang tua dimohon untuk bersabar, karena mendidik anak dan menanamkan nilai-nilai kepada anak bukanlah sesuatu yang instan untuk dapat segera dirasakan. Menggunakan kata “JANGAN” mungkin akan mengatasi masalah sementara saja, namun jangka panjangnya justru akan menjadi hambatan bagi si anak dalam berkreasi, mencoba hal baru, memutuskan kehendaknya, menumbuhkan kepercayaan dirinya, dan memecahkan masalah yang dihadapinya di masa yang akan datang. Semangat selalu untuk para orang tua. Salam.



NB.
1. Artikel ini menjadi materi wawancara penulis dengan harian Tribun Bali edisi minggu, 2 November 2014; Rubrik Mom and Kids; hal. 13.
2. Versi online-nya, dapat juga diakses pada http://bali.tribunnews.com/2014/11/02/hindari-perintah-jangan-pada-buah-hati.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog