Monday, February 2, 2015

Memfasilitasi Pelajar “Digital Native” dalam Pembelajaran Abad 21

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran di abad 21 merupakan tantangan yang mesti dihadapi oleh seorang pendidik, baik guru maupun orang tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah kegiatan untuk mengubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Artinya, sesungguhnya belajar itu adalah tentang pengalaman. Pengalaman untuk menemukan jawaban dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Lalu di abad 21 ini, bagaimana memberikan pengalaman ini?

Pelajar di abad 21 ini secara umum adalah pelajar yang hidup di era digital. Sumber belajar yang ada di sekitar pelajar ini pada umumnya berbentuk digital, multimedia, dapat diakses dimana saja dengan adanya internet, dan kemudahan lainnya. Inilah sebabnya kenapa pelajar abad 21 disebut sebagai pelajar Digital Native. Ada juga yang mengistilahkan sebagai N-Gen (Net Generation) atau D-Gen (Digital Generation). Pelajar digital native ini memiliki karakteristik yang berorientasi pada multimedia, berbasis web, berani dan siap akan resiko kegagalan, multitasker, kreatif dan sangat aktif, egosentris dan cenderung antisosial, berorientasi pada permukaan saja dan pengkajian yang dilakukan relative dangkal, tidak dibatasi oleh batas dan jarak (bersifatglobal), dan masih banyak lagi ciri lainnya. Secara sederhana, yang terkategori sebagai digital native ini adalah anak-anak kelahiran tahun 2000an. Lalu, yang lahir sebelum tahun 2000an, tapi mengalami juga era peralihan teknologi dan pengembangan digital disebut apa? Mereka ini disebut dengan istilah “Digital Immigrant”. Contoh riil ciri-ciri dari seorang digital immigrant antara lain adalah mengutamakan untuk membaca buku daripada membaca bacaan digital, masih memprioritaskan untuk mencetak dokumen untuk diedit daripada mengeditnya langsung pada monitor, memilih untuk mereferensi buku diktat daripada sumber referensi digital, dan sebagainya. Dan faktanya, sebagian dari para pendidik di era 21 ini adalah seorang Digital Immigrant.

Lalu, bagaimana memfasilitasi pelajar D-gen ini? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anak-anak digital native ini lebih cenderung anak-anak pencoba dan kreatif. Para pendidik harus mampu memetakan kemampuan anak karena ini adalah titik awal pembelajaran dilakukan. Pemetaan dapat dilakukan berdasarkan minat-bakat, kemampuan inteligensia, ataupun kategori lainnya. Ketika pemetaan telah dilakukan maka pengembangan pembelajaran didasarkan pada kategori masing-masing anak, artinya dikembangkan dengan multi-kategori atau “differentiate instructions” (DI, pembedaan instruksi) untuk mengakomodasi perbedaan minat-bakat atau kemampuan inteligensia anak. Penerapan DI ini bukan berarti masing-masing anak membahas topik yang berbeda, namun lebih pada pembedaan instruksi tugas kepada anak sesuai dengan levelnya. Contohnya, pada saat anak mempelajari materi operasi bilangan, hasil pemetaan diperoleh ada 3 kategori, yaitu anak yang masih butuh bantuan (level mula), anak-anak yang sudah siap (level siap), dan anak-anak yang sudah paham (level lanjut). Berdasarkan level ini, sumber belajar anak juga butuh untuk diperhatikan.

Pelajar digital native merupakan pelajar yang memiliki tipe akan merasa tertantang jika diberikan permasalahan melalui pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual akan membantu siswa untuk menumbuhkan pola berpikir kritis (critical thinking), termasuk juga berpikir analisisnya (analytical thinking). Pembelajaran kontekstual sekaligus akan menjadi sumber belajar bagi mereka. Mereka belajar tentang topik pada pelajarannya dengan hal-hal logis yang berada di sekeliling mereka. Dan tentunya, D-gen ini akan lebih memilih untuk juga mengkonfirmasi temuannya dari internet, seperti artikel e-learning, video, atau multimedia lainnya. Jika guru mensyaratkan untuk mengkonfirmasi temuannya pada buku, akan disarankan jika guru memberikan referensinya kepada siswa, karena sesuai cirinya, mereka akan mengutamakan mengkonfirmasi ke media online dulu daripada ke buku diktat jika tidak disyaratkan. Pelajar-pelajar ini harus diarahkan untuk mencapai hasil pembelajarannya melalui project dengan pemberian rubrik capaian yang harus mereka capai pada proses pembelajarannya dalam bentuk sebuah produk belajar. Sesuai dengan karakteristiknya, digital native ini sebagian besar adalah independen, sehingga dari rubric tersebut anak-anak harus diarahkan untuk dapat menentukan target capaiannya sendiri dan tentunya harus dimotivasi untuk meraih capaian terbaiknya serta ditumbuhkan rasa tanggung jawabnya terhadap targetnya sendiri. Dengan ini, tentunya akan menjadi sebuah tantangan besar bagi para pendidik, yaitu orang tua dan pengajar, untuk memfasilitasi pelajar abad 21 ini. Perencanaan pembelajaran memegang peran yang penting untuk memfasilitasi pelajar D-gen ini. Sehingga dari sini, bahwa jargon Mendikbud, Bapak Anies Baswedan, yang menyebutkan semestinya memang para pendidiklah yang harus dibekali dan dipersiapkan adalah benar adanya mengingat kebutuhan pendidikan bagi pelajar digital native di abad 21 ini.



NB.: Artikel ini (diedit) telah dimuat pada Koran Radar Bali, Jawa Pos pada rubrik Bali Utama, Hal. 27 pada tanggal 1 Februari 2015.

2 comments:

  1. @Bhakti: Matur thank you bro... semoga dapat memberi arti... Kanggoang, masih belajar...

    ReplyDelete

Search This Blog