Thursday, February 25, 2016

Mungkin engkau sedang lupa, Nak…

Ditulis dan diedit oleh B.S. Wiratama


“Bukan bermaksud untuk merasa sangat berharga dan penting bagi kamu, nak… bukan juga merasa melakukan hal heroik terhebat untuk melindungi kamu, nak… bukan juga merasa menjadi seorang penuntun takdir kamu menjadi seorang yang berguna…” Mungkin itu yang terbersit di dalam pikiran Cakra, saat melihat keadaan anaknya, Nanda, yang ngambek setelah meminta untuk dibelikan mainan ter-hit saat ini, yaitu drone, untuk kamera kecil tangguh profesionalnya yang baru Nanda minta ke Cakra bulan lalu.

Di benaknya Nanda, “masak iya, ayah ga mampu membelikan drone yang hanya 5 juta saja?? Iya, hanya 5 juta saja lho”. “Ayah pelit… ayah terlalu perhitungan… masa segitu saja ga punya uang… Bulan lalu aja bisa beliin aku kamera??? Gaji ayah kan cukup segitu…”, “Sebegitu teganya Ayah kepada anaknya…”, dan berbagai pemikiran-pemikiran tentang ketidakadilan yang sedang dia alami terhadap ketidaksanggupan sang ayah, Cakra, untuk membelikan drone itu. “Ayah benar-benar orang yang tidak mengerti!!! Menyebalkan!!!”

Namun di lain sisi, di dalam otak Cakra, berputar juga pikiran-pikiran bagaimana caranya untuk tetap bisa memberikan hal yang terbaik bagi Nanda. Cakra sangat tahu bahwa drone itu adalah impian Nanda. Nanda yang berusia 13 tahun ini, seorang anak SMP yang sangat gemar pada kegiatan fotografi. Cakra sangat paham akan keinginan Nanda itu. Namun di satu sisi, Cakra juga harus memikirkan tentang merenovasi rumahnya yang banyak bocor di sana sini. Rumah yang masih kusam harus dipercantik untuk setidaknya bisa membuat nyaman istri, Nanda, dan Rai, sang adik yang masih bayi. Cakra sangat ingin membahagiakan semuanya, memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Dan juga, Cakra tidak mau mengecewakan Nanda yang sangat ingin mengembangkan hobinya di fotografi. Tapi, 5 juta itu adalah modal awal untuk merenovasi rumahnya, ini sebenarnya yang penting. Apalagi saat ini, Rai yang masih berusia 9 bulan itu sedang aktif-aktifnya bergerak dan sangat membutuhkan tempat yang nyaman untuk bisa bermain dan tidur dengan nyaman dan tidak merasa kegerahan di dalam rumah.

Tapi, teringat lagi kata Nanda, “Ayah ga ngertiin aku!!! Ayah tega, ga mau beliin aku drone”. “Aku ga suka ayah!!! Aku ga mau lagi berteman sama ayah!!!”. Sudah sebisa mungkin Cakra memberikan pengertian tentang situasi yang ada saat itu, bahwa rumahnya banyak bocor sana sini dan kusam warna catnya. Namun, Nanda tidak mau mengerti dan tidak mau menerima apapun penjelasan Cakra. Cakra yang tipikal ayah yang memang tidak mau menggunakan cara kekerasan atau memaksakan sesuatu dalam membesarkan anaknya, tidak akan sampai hati memaksakan kehendaknya kepada Nanda. Dia akan tetap berusaha untuk bisa membahagiakan anggota keluarganya secara adil.

Tapi jika dianalisis lebih lanjut, sebenarnya bisa dikatakan bahwa Nandalah yang tega sebenarnya. Nanda yang sedang beranjak remaja ini dengan sifat psikologis yang masih hanya berpikir tentang dirinya sendiri ini membuat kondisi Cakra terhimpit. Justru Nandalah yang tega sebenarnya yang menyebabkan ayahnya harus berpikir lebih keras kali ini. Pengertian-pengertian yang Cakra berikan dianggap hal remeh oleh Nanda. Nanda hanya mau mendengar apa yang Nanda ingin dengarkan saja, yaitu terpenuhinya keinginan dia untuk membeli drone ini. Hal-hal yang tidak menyenangkan akan selalu dianggap sesuatu yang tidak berpihak kepada dirinya. Ayah, Ibu, atau bahkan Rai dinilai adalah orang yang tidak sepaham dengan dia, dimusuhinya semua.
Apapun penjelasan yang diberikan asal tidak tentang kata-kata, “iya, dibeliin drone” adalah kata-kata hembusan angin yang hanya lewat pada dirinya. Sangat disayangkan sebenarnya. Kebutuhan memperbaiki rumah yang bocor sana sini ini adalah hal penting yang harus didahulukan. Rumah kusam dengan cat yang warnanya sudah 9 tahunan itu memang seharusnya sudah harus didahulukan untuk diperbaharui. Namun bagi Cakra, menyenangkan anaknya juga hal utama. Bukan berarti Cakra memanjakan Nanda, tapi memang pada dasarnya Cakra tidak mau juga anaknya kecewa. Di dalam hati kecil Cakra, dia berpikir bahwa rasa kecewa Nanda juga tetap perlu diakomodasi, walaupun tentunya belum bisa diakomodasi sepenuhnya. Ada hal prioritas yang perlu diperhatikan untuk keberlangsungan kenyamanan hidup keluarga Cakra, ya tentunya termasuk Nanda yang juga bagian dari keluarga ini. Dalam tegunnya, Cakra merenungkan rasa memusuhi Nanda itu. Ini hal buruk, Nanda juga harus diingatkan bahwa sebaiknya menghindari berpikiran negatif begitu kepada orang lain, terlebih lagi terhadap orang tuanya yang telah membesarkannya hingga saat ini. Suasana negatif di pikiran Nanda ini membuat suasana tidak sehat dan berpotensi mempengaruhi orang-orang sekitarnya dan memperkeruh suasana. Cakra teringat pada sebuah analogi dalam Bahasa Inggris dari Goi Nasu yang menyebutkan, “An entire sea of water can’t sink a ship unless it gets inside the ship. Similarly, the negativity of the world can’t put you down unless you allow it to get inside you”. Dan tentunya, Cakra tidak mau Nanda menjadi orang yang selalu negatif dan nanti akhirnya menjadi tidak baik bagi Nanda, terutama di lingkungan sosialnya nanti.

Lama Cakra berpikir, lama dia merenungkan apa yang telah terjadi pada Nanda. Cakra berpikir bahwa mungkin Nanda sedang lupa… iya, mungkin Nanda sedang lupa bahwa ayah dan ibunya sudah sangat berusaha memenuhi kebutuhan Nanda sampai saat ini, sampai di usia sebagai seorang remaja SMP sekarang… “Iya, mungkin engkau sedang lupa, Nak”, begitu pikir Cakra seiring dengan doa yang ia panjatkan agar Nanda bisa segera dapat berpikir jernih kembali dan bisa menghargai jerih payah orang tuanya.


Sumber foto:
(1) http://www.teduh.or.id/aku-dan-ayahku
(2) http://bwccministry.org/menjadi-terang-yang-bercahaya

No comments:

Post a Comment

Search This Blog